cari

Diberdayakan oleh Blogger.

UM the learning of univerty

Cari

RSS

Contoh Pelatihan di PKBM


Program PKBM Aisyiyah Dau Malang Mengadakan Pelatihan Kursus Menjahit

IMG1467A
Peserta Kursus sedang Praktik Pengukuran
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) ‘Aisyiyah Dau Malang merupakan institusi pendidikan non formal yang didirikan sebagai sarana belajar untuk pengembangan keterampilan masyarakat seperti keterampilan baca tulis, menjahit, mendidirikan usaha, dan keterampilan lain yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya. PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang adalah institusi pendidikan non formal dibawah naungan Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah Kabupaten Malang. PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang dipandang strategis dalam membantu mewujudkan keterampilan masyarakat dengan alasan: (1) berada pada daerah yang kondusif untuk belajar mengajar, (2) memiliki SDM yang mempuni dalam mengajar dan mendampingi masyarakat, dan (3) tingginya minat masyarakat untuk ikut berpartisipasi.
PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang didirikan pada bulan Januari tahun 2012. Pendirian PKBM ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya: (1) Daerah Kabupaten Malang masih minim akan keberadaan PKBM, (2) Masyarakat Kabupaten Malang sangat membutuhkan media belajara seperti PKBM, dan (3) masyarakat Kabupaten Malang khususnya di desa-desa terplosok tergolong tinggi angka buta aksara dan minim keterampilan. Atas dasar tersebut, beberapa pimpinan Cabang ‘Aisyiyah Dau Malang berinisiatif mendirikan PKBM. PKBM ini masih tergolong mudah, namun telah menjalankan program kursus menjahit. Kursus menjahit merupakan program pertama yang dijalankan oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang.
Pengurus PKBM 'Aisyiyah Dau Malang Rapat Konsep Kursus Menjahit Tahap I, 2011
Pengurus PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang Rapat Konsep Kursus Menjahit Tahap I, 2011
Peserta kursus terdapat 29 orang. Peserta tersebut adalah masyarakat yang ada di sekitar Kecamatan Dau Malang.  Kursus dijalankan selama tiga bulan. Dalam kurun waktu tersebut PKBM ‘Asyiyah Dau Malang mampu mewujudkan keterampilan menjahit bagi masyarakat sekitar Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Peserta mampu membuat pola baju, pola jilbab, dan pola rok. Selain membuat pola, peserta juga mampu menjahit dengan baik dan sempurna. Sebagai upaya yang berorientasi berkelanjutan, peserta kursus yang telah dibekali keterampilan menjahit tersebut didistribusikan pada mitra usaha konveksi. Langkah ini perlu dilakukan agar keterampilan yang didapatkan melalui program kursus menjahit tidak sia-sia. Selain didistribusikan pada mitra usaha konveksi, PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang memberikan bantuan berupa peminjaman mesin jahit kepada peserta kursus sebagai modal awal rintisan usaha konveksi secara mandiri.
Dalam menjalankan program di atas terdapat kendala utama yang dihadapi PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang, yakni keterbatasan fasilitas pendukung yang dimiliki seperti mesin menjahit, tempat kursus yang sangat sempit, tutor kursus masih sangat sedikit, dan terdapat beberapa peserta kursus yang minim akan pengetahuan teknologi informasi seperti computer dan internet. Kendala-kendala tersebut diatasi dengan bijak oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang dengan memberdayakan Sumber Daya Manusia yang dimiliki.
Kantor PKBM 'Aisyiyah Dau Malang, Perum Pondok Indah Sengkaling Malang
Kantor PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang, Perum Pondok Indah Sengkaling Malang
PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang melakukan pemberdayaan masyrakat melalui program kursus menjahit seperti dijelaskan di atas dipandang sebagai program strategis, karena keterampilan menjahit sangat prospek untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang kurang mampu khususnya, dengan alasan: (1) di era sekarang ini masyarakat memiliki trand menggunakan pakaian hasil dari jahitan atau konveksi, (2) kebutuhan pelajar terhadap pakaian sekolah hasil jahitan atau konveksi sangat tinggi, (3) kebutuhan kantoran terhadap pakaian dinas hasil jahitan atau konveksi sangat tinggi, dan (4) perkembangan teknologi informasi sebagai pendukung keteranpilan menjahit sangat menjanjikan untuk membangun usaha konveksi.
Sebagai langkah dalam memperkuat dan mengembangkan usaha konveksi yang dikelolah oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang melalui peserta kursus menjahit yang sukses menguasai keterampilan menjahit, maka dibutuhkan mitra.  Berdasarkan hasil survei dan diskusi Tim IbM, bahwa mitra yang memiliki spirit wirausaha yang sama, saling melengkapi akan ketersedian bahan baku, saling melengkapi akan ketersedian sumber daya yang ada, dan saling menguntungkan secara ekonomi, adalah Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang, dengan alasan: (1) Secara geografis PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang dengan Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang sangat dekat, sehingga akses dalam membangun hubungan sangat lancer, (2) Kedua lembaga tersebut memiliki pemahan yang sama tentang arah pengembangan usaha, (3) Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang memiliki gedung yang dapat dimanfaatkan oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang, (4) Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang memiliki banyak mitra dengan
Mesin Jahit PKBM 'Aisyiyah Dau Malang. Mesin Jahit ini hasil swadaya pengurus Aisyiyah Dau Malang.
Mesin Jahit PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang. Mesin Jahit ini hasil swadaya pengurus Aisyiyah Dau Malang.
institusi pendidikan yang dapat dimanfaatkan oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang sebagai tempat pemasaran hasil karya peserta kursus menjahit baik yang dihasilkan pada usaha konveksi orang lain maupun dihasilkan melalui usaha mandiri, dan (5) Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang memiliki banyak SDM  yang dapat diberdayakan dengan saling menguntungkan.
Melalui pengusulan IbM ini diharapkan dapat membantu PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang dan Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang untuk mengembangkan program kursus menjahit dan mampu mewujudkan usaha konveksi mandiri bagi peserta kursus menjahit yang diselenggarakan oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Contoh Pelatihan di PKBM


Program PKBM Aisyiyah Dau Malang Mengadakan Pelatihan Kursus Menjahit

IMG1467A
Peserta Kursus sedang Praktik Pengukuran
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) ‘Aisyiyah Dau Malang merupakan institusi pendidikan non formal yang didirikan sebagai sarana belajar untuk pengembangan keterampilan masyarakat seperti keterampilan baca tulis, menjahit, mendidirikan usaha, dan keterampilan lain yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya. PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang adalah institusi pendidikan non formal dibawah naungan Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah Kabupaten Malang. PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang dipandang strategis dalam membantu mewujudkan keterampilan masyarakat dengan alasan: (1) berada pada daerah yang kondusif untuk belajar mengajar, (2) memiliki SDM yang mempuni dalam mengajar dan mendampingi masyarakat, dan (3) tingginya minat masyarakat untuk ikut berpartisipasi.
PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang didirikan pada bulan Januari tahun 2012. Pendirian PKBM ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya: (1) Daerah Kabupaten Malang masih minim akan keberadaan PKBM, (2) Masyarakat Kabupaten Malang sangat membutuhkan media belajara seperti PKBM, dan (3) masyarakat Kabupaten Malang khususnya di desa-desa terplosok tergolong tinggi angka buta aksara dan minim keterampilan. Atas dasar tersebut, beberapa pimpinan Cabang ‘Aisyiyah Dau Malang berinisiatif mendirikan PKBM. PKBM ini masih tergolong mudah, namun telah menjalankan program kursus menjahit. Kursus menjahit merupakan program pertama yang dijalankan oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang.
Pengurus PKBM 'Aisyiyah Dau Malang Rapat Konsep Kursus Menjahit Tahap I, 2011
Pengurus PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang Rapat Konsep Kursus Menjahit Tahap I, 2011
Peserta kursus terdapat 29 orang. Peserta tersebut adalah masyarakat yang ada di sekitar Kecamatan Dau Malang.  Kursus dijalankan selama tiga bulan. Dalam kurun waktu tersebut PKBM ‘Asyiyah Dau Malang mampu mewujudkan keterampilan menjahit bagi masyarakat sekitar Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Peserta mampu membuat pola baju, pola jilbab, dan pola rok. Selain membuat pola, peserta juga mampu menjahit dengan baik dan sempurna. Sebagai upaya yang berorientasi berkelanjutan, peserta kursus yang telah dibekali keterampilan menjahit tersebut didistribusikan pada mitra usaha konveksi. Langkah ini perlu dilakukan agar keterampilan yang didapatkan melalui program kursus menjahit tidak sia-sia. Selain didistribusikan pada mitra usaha konveksi, PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang memberikan bantuan berupa peminjaman mesin jahit kepada peserta kursus sebagai modal awal rintisan usaha konveksi secara mandiri.
Dalam menjalankan program di atas terdapat kendala utama yang dihadapi PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang, yakni keterbatasan fasilitas pendukung yang dimiliki seperti mesin menjahit, tempat kursus yang sangat sempit, tutor kursus masih sangat sedikit, dan terdapat beberapa peserta kursus yang minim akan pengetahuan teknologi informasi seperti computer dan internet. Kendala-kendala tersebut diatasi dengan bijak oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang dengan memberdayakan Sumber Daya Manusia yang dimiliki.
Kantor PKBM 'Aisyiyah Dau Malang, Perum Pondok Indah Sengkaling Malang
Kantor PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang, Perum Pondok Indah Sengkaling Malang
PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang melakukan pemberdayaan masyrakat melalui program kursus menjahit seperti dijelaskan di atas dipandang sebagai program strategis, karena keterampilan menjahit sangat prospek untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang kurang mampu khususnya, dengan alasan: (1) di era sekarang ini masyarakat memiliki trand menggunakan pakaian hasil dari jahitan atau konveksi, (2) kebutuhan pelajar terhadap pakaian sekolah hasil jahitan atau konveksi sangat tinggi, (3) kebutuhan kantoran terhadap pakaian dinas hasil jahitan atau konveksi sangat tinggi, dan (4) perkembangan teknologi informasi sebagai pendukung keteranpilan menjahit sangat menjanjikan untuk membangun usaha konveksi.
Sebagai langkah dalam memperkuat dan mengembangkan usaha konveksi yang dikelolah oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang melalui peserta kursus menjahit yang sukses menguasai keterampilan menjahit, maka dibutuhkan mitra.  Berdasarkan hasil survei dan diskusi Tim IbM, bahwa mitra yang memiliki spirit wirausaha yang sama, saling melengkapi akan ketersedian bahan baku, saling melengkapi akan ketersedian sumber daya yang ada, dan saling menguntungkan secara ekonomi, adalah Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang, dengan alasan: (1) Secara geografis PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang dengan Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang sangat dekat, sehingga akses dalam membangun hubungan sangat lancer, (2) Kedua lembaga tersebut memiliki pemahan yang sama tentang arah pengembangan usaha, (3) Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang memiliki gedung yang dapat dimanfaatkan oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang, (4) Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang memiliki banyak mitra dengan
Mesin Jahit PKBM 'Aisyiyah Dau Malang. Mesin Jahit ini hasil swadaya pengurus Aisyiyah Dau Malang.
Mesin Jahit PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang. Mesin Jahit ini hasil swadaya pengurus Aisyiyah Dau Malang.
institusi pendidikan yang dapat dimanfaatkan oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang sebagai tempat pemasaran hasil karya peserta kursus menjahit baik yang dihasilkan pada usaha konveksi orang lain maupun dihasilkan melalui usaha mandiri, dan (5) Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang memiliki banyak SDM  yang dapat diberdayakan dengan saling menguntungkan.
Melalui pengusulan IbM ini diharapkan dapat membantu PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang dan Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang untuk mengembangkan program kursus menjahit dan mampu mewujudkan usaha konveksi mandiri bagi peserta kursus menjahit yang diselenggarakan oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Contoh Pelatihan di PKBM


Program PKBM Aisyiyah Dau Malang Mengadakan Pelatihan Kursus Menjahit

IMG1467A
Peserta Kursus sedang Praktik Pengukuran
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) ‘Aisyiyah Dau Malang merupakan institusi pendidikan non formal yang didirikan sebagai sarana belajar untuk pengembangan keterampilan masyarakat seperti keterampilan baca tulis, menjahit, mendidirikan usaha, dan keterampilan lain yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya. PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang adalah institusi pendidikan non formal dibawah naungan Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah Kabupaten Malang. PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang dipandang strategis dalam membantu mewujudkan keterampilan masyarakat dengan alasan: (1) berada pada daerah yang kondusif untuk belajar mengajar, (2) memiliki SDM yang mempuni dalam mengajar dan mendampingi masyarakat, dan (3) tingginya minat masyarakat untuk ikut berpartisipasi.
PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang didirikan pada bulan Januari tahun 2012. Pendirian PKBM ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya: (1) Daerah Kabupaten Malang masih minim akan keberadaan PKBM, (2) Masyarakat Kabupaten Malang sangat membutuhkan media belajara seperti PKBM, dan (3) masyarakat Kabupaten Malang khususnya di desa-desa terplosok tergolong tinggi angka buta aksara dan minim keterampilan. Atas dasar tersebut, beberapa pimpinan Cabang ‘Aisyiyah Dau Malang berinisiatif mendirikan PKBM. PKBM ini masih tergolong mudah, namun telah menjalankan program kursus menjahit. Kursus menjahit merupakan program pertama yang dijalankan oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang.
Pengurus PKBM 'Aisyiyah Dau Malang Rapat Konsep Kursus Menjahit Tahap I, 2011
Pengurus PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang Rapat Konsep Kursus Menjahit Tahap I, 2011
Peserta kursus terdapat 29 orang. Peserta tersebut adalah masyarakat yang ada di sekitar Kecamatan Dau Malang.  Kursus dijalankan selama tiga bulan. Dalam kurun waktu tersebut PKBM ‘Asyiyah Dau Malang mampu mewujudkan keterampilan menjahit bagi masyarakat sekitar Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Peserta mampu membuat pola baju, pola jilbab, dan pola rok. Selain membuat pola, peserta juga mampu menjahit dengan baik dan sempurna. Sebagai upaya yang berorientasi berkelanjutan, peserta kursus yang telah dibekali keterampilan menjahit tersebut didistribusikan pada mitra usaha konveksi. Langkah ini perlu dilakukan agar keterampilan yang didapatkan melalui program kursus menjahit tidak sia-sia. Selain didistribusikan pada mitra usaha konveksi, PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang memberikan bantuan berupa peminjaman mesin jahit kepada peserta kursus sebagai modal awal rintisan usaha konveksi secara mandiri.
Dalam menjalankan program di atas terdapat kendala utama yang dihadapi PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang, yakni keterbatasan fasilitas pendukung yang dimiliki seperti mesin menjahit, tempat kursus yang sangat sempit, tutor kursus masih sangat sedikit, dan terdapat beberapa peserta kursus yang minim akan pengetahuan teknologi informasi seperti computer dan internet. Kendala-kendala tersebut diatasi dengan bijak oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang dengan memberdayakan Sumber Daya Manusia yang dimiliki.
Kantor PKBM 'Aisyiyah Dau Malang, Perum Pondok Indah Sengkaling Malang
Kantor PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang, Perum Pondok Indah Sengkaling Malang
PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang melakukan pemberdayaan masyrakat melalui program kursus menjahit seperti dijelaskan di atas dipandang sebagai program strategis, karena keterampilan menjahit sangat prospek untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang kurang mampu khususnya, dengan alasan: (1) di era sekarang ini masyarakat memiliki trand menggunakan pakaian hasil dari jahitan atau konveksi, (2) kebutuhan pelajar terhadap pakaian sekolah hasil jahitan atau konveksi sangat tinggi, (3) kebutuhan kantoran terhadap pakaian dinas hasil jahitan atau konveksi sangat tinggi, dan (4) perkembangan teknologi informasi sebagai pendukung keteranpilan menjahit sangat menjanjikan untuk membangun usaha konveksi.
Sebagai langkah dalam memperkuat dan mengembangkan usaha konveksi yang dikelolah oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang melalui peserta kursus menjahit yang sukses menguasai keterampilan menjahit, maka dibutuhkan mitra.  Berdasarkan hasil survei dan diskusi Tim IbM, bahwa mitra yang memiliki spirit wirausaha yang sama, saling melengkapi akan ketersedian bahan baku, saling melengkapi akan ketersedian sumber daya yang ada, dan saling menguntungkan secara ekonomi, adalah Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang, dengan alasan: (1) Secara geografis PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang dengan Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang sangat dekat, sehingga akses dalam membangun hubungan sangat lancer, (2) Kedua lembaga tersebut memiliki pemahan yang sama tentang arah pengembangan usaha, (3) Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang memiliki gedung yang dapat dimanfaatkan oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang, (4) Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang memiliki banyak mitra dengan
Mesin Jahit PKBM 'Aisyiyah Dau Malang. Mesin Jahit ini hasil swadaya pengurus Aisyiyah Dau Malang.
Mesin Jahit PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang. Mesin Jahit ini hasil swadaya pengurus Aisyiyah Dau Malang.
institusi pendidikan yang dapat dimanfaatkan oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang sebagai tempat pemasaran hasil karya peserta kursus menjahit baik yang dihasilkan pada usaha konveksi orang lain maupun dihasilkan melalui usaha mandiri, dan (5) Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang memiliki banyak SDM  yang dapat diberdayakan dengan saling menguntungkan.
Melalui pengusulan IbM ini diharapkan dapat membantu PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang dan Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang untuk mengembangkan program kursus menjahit dan mampu mewujudkan usaha konveksi mandiri bagi peserta kursus menjahit yang diselenggarakan oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Contoh Pelatihan di PKBM


Program PKBM Aisyiyah Dau Malang Mengadakan Pelatihan Kursus Menjahit

IMG1467A
Peserta Kursus sedang Praktik Pengukuran
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) ‘Aisyiyah Dau Malang merupakan institusi pendidikan non formal yang didirikan sebagai sarana belajar untuk pengembangan keterampilan masyarakat seperti keterampilan baca tulis, menjahit, mendidirikan usaha, dan keterampilan lain yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya. PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang adalah institusi pendidikan non formal dibawah naungan Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah Kabupaten Malang. PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang dipandang strategis dalam membantu mewujudkan keterampilan masyarakat dengan alasan: (1) berada pada daerah yang kondusif untuk belajar mengajar, (2) memiliki SDM yang mempuni dalam mengajar dan mendampingi masyarakat, dan (3) tingginya minat masyarakat untuk ikut berpartisipasi.
PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang didirikan pada bulan Januari tahun 2012. Pendirian PKBM ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya: (1) Daerah Kabupaten Malang masih minim akan keberadaan PKBM, (2) Masyarakat Kabupaten Malang sangat membutuhkan media belajara seperti PKBM, dan (3) masyarakat Kabupaten Malang khususnya di desa-desa terplosok tergolong tinggi angka buta aksara dan minim keterampilan. Atas dasar tersebut, beberapa pimpinan Cabang ‘Aisyiyah Dau Malang berinisiatif mendirikan PKBM. PKBM ini masih tergolong mudah, namun telah menjalankan program kursus menjahit. Kursus menjahit merupakan program pertama yang dijalankan oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang.
Pengurus PKBM 'Aisyiyah Dau Malang Rapat Konsep Kursus Menjahit Tahap I, 2011
Pengurus PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang Rapat Konsep Kursus Menjahit Tahap I, 2011
Peserta kursus terdapat 29 orang. Peserta tersebut adalah masyarakat yang ada di sekitar Kecamatan Dau Malang.  Kursus dijalankan selama tiga bulan. Dalam kurun waktu tersebut PKBM ‘Asyiyah Dau Malang mampu mewujudkan keterampilan menjahit bagi masyarakat sekitar Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Peserta mampu membuat pola baju, pola jilbab, dan pola rok. Selain membuat pola, peserta juga mampu menjahit dengan baik dan sempurna. Sebagai upaya yang berorientasi berkelanjutan, peserta kursus yang telah dibekali keterampilan menjahit tersebut didistribusikan pada mitra usaha konveksi. Langkah ini perlu dilakukan agar keterampilan yang didapatkan melalui program kursus menjahit tidak sia-sia. Selain didistribusikan pada mitra usaha konveksi, PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang memberikan bantuan berupa peminjaman mesin jahit kepada peserta kursus sebagai modal awal rintisan usaha konveksi secara mandiri.
Dalam menjalankan program di atas terdapat kendala utama yang dihadapi PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang, yakni keterbatasan fasilitas pendukung yang dimiliki seperti mesin menjahit, tempat kursus yang sangat sempit, tutor kursus masih sangat sedikit, dan terdapat beberapa peserta kursus yang minim akan pengetahuan teknologi informasi seperti computer dan internet. Kendala-kendala tersebut diatasi dengan bijak oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang dengan memberdayakan Sumber Daya Manusia yang dimiliki.
Kantor PKBM 'Aisyiyah Dau Malang, Perum Pondok Indah Sengkaling Malang
Kantor PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang, Perum Pondok Indah Sengkaling Malang
PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang melakukan pemberdayaan masyrakat melalui program kursus menjahit seperti dijelaskan di atas dipandang sebagai program strategis, karena keterampilan menjahit sangat prospek untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang kurang mampu khususnya, dengan alasan: (1) di era sekarang ini masyarakat memiliki trand menggunakan pakaian hasil dari jahitan atau konveksi, (2) kebutuhan pelajar terhadap pakaian sekolah hasil jahitan atau konveksi sangat tinggi, (3) kebutuhan kantoran terhadap pakaian dinas hasil jahitan atau konveksi sangat tinggi, dan (4) perkembangan teknologi informasi sebagai pendukung keteranpilan menjahit sangat menjanjikan untuk membangun usaha konveksi.
Sebagai langkah dalam memperkuat dan mengembangkan usaha konveksi yang dikelolah oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang melalui peserta kursus menjahit yang sukses menguasai keterampilan menjahit, maka dibutuhkan mitra.  Berdasarkan hasil survei dan diskusi Tim IbM, bahwa mitra yang memiliki spirit wirausaha yang sama, saling melengkapi akan ketersedian bahan baku, saling melengkapi akan ketersedian sumber daya yang ada, dan saling menguntungkan secara ekonomi, adalah Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang, dengan alasan: (1) Secara geografis PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang dengan Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang sangat dekat, sehingga akses dalam membangun hubungan sangat lancer, (2) Kedua lembaga tersebut memiliki pemahan yang sama tentang arah pengembangan usaha, (3) Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang memiliki gedung yang dapat dimanfaatkan oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang, (4) Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang memiliki banyak mitra dengan
Mesin Jahit PKBM 'Aisyiyah Dau Malang. Mesin Jahit ini hasil swadaya pengurus Aisyiyah Dau Malang.
Mesin Jahit PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang. Mesin Jahit ini hasil swadaya pengurus Aisyiyah Dau Malang.
institusi pendidikan yang dapat dimanfaatkan oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang sebagai tempat pemasaran hasil karya peserta kursus menjahit baik yang dihasilkan pada usaha konveksi orang lain maupun dihasilkan melalui usaha mandiri, dan (5) Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang memiliki banyak SDM  yang dapat diberdayakan dengan saling menguntungkan.
Melalui pengusulan IbM ini diharapkan dapat membantu PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang dan Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Dau Malang untuk mengembangkan program kursus menjahit dan mampu mewujudkan usaha konveksi mandiri bagi peserta kursus menjahit yang diselenggarakan oleh PKBM ‘Aisyiyah Dau Malang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

apa sih sebenarnya Adopsi inovasi ituu??? pengen tahu!!!!!!!




 ADOPSI INOVASI

PENGERTIAN TENTANG INOVASI

Inti dari seiap upaya pembangunan yang disampaikan melalui kegiatan penyuluhan, pada dasarnya ditujukan untuk tercapainya perubahan-perubahan perilaku masyarakat demi terwujudnya perbaikan mutu hidup yang mencakup banyak aspek, baik: ekonomi, sosial, budaya, ideologi, politik maupun pertahanan dan keamanan.
Karena itu, pesan-pesan pembangunan yang disuluhkan haruslah mampu mendorong atau mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang memiliki sifat "pembaharuan" yang biasa disebut dengan istilah "inovativensess".

Rogers dan Shoemaker (1971) mengartikan inovasi sebagai: ide-ide baru, praktek-praktek baru, atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyuluhan. Sedang Lionberger dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekadar sebagai sesuatu yang baru, tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu.
Pengertian "baru" disini, mengandung makna bukan sekadar "baru diketahui" oleh pikiran (cognitive), akan tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat dalam arti sikap (attitude), dan juga baru dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan/diterapkan oleh seluruh warga masyarakat setempat.

Pengertian inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil produksi saja, tetapi mencakup: ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku, atau gerakan-gerakan menuju kepada proses perubahan di dalam segala bentuk tata kehidupan masyarakat. Dengan demikian, pengertian inovasi dapat semakin diperluas menjadi:

"Sesuatu ide, produk, informasi teknologi,kelembagaan, peri-laku, nilai-nilai, dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikaan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang ber-sangkutan". (Mardikanto, 1988)".

Pengertian "baru" yang melekat pada istilah inovasi tersebut bukan selalu berarti baru diciptakan, tetapi dapat berupa sesuatu yang sudah "lama" dikenal, diterima, atau digunakan/diterapkan oleh masyarakat di luar sistem sosial yang menganggapnya sebagai sesuatu yang masih "baru".
Pengertian “baru” juga tidak selalu harus datang dari luar, tetapi dapat berupa teknologi setempat (indegenuous technol-ogy) atau kebiasaan setempat (kearifan tradisional) yang sudah lama ditinggalkan


PENGERTIAN ADOPSI

Adopsi, dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses penerimaan inovasi dan atau perubahan perilaku baik yang berupa: pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psycho-motoric) pada diri seseorang setelah menerima "inovasi" yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya.
Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekadar "tahu", tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerap-kannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain, sebagai cerminan dari adanya perubahan: sikap, pengeta-huan, dan atau ketrampilannya.
Pengertian adopsi sering rancu dengan "adaptasi" yang berarti penyesuaian. Di dalam proses adopsi, dapat juga berlangsung proses penyesuaian, tetapi adaptasi itu sendiri lebih merupakan proses yang berlangsung secara alami untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan. Sedang adopsi, benar-benar merupakan proses penerimaan sesuatu yang "baru" (inovasi), yaitu menerima sesuatu yang "baru" yang ditawarkan dan diupayakan oleh pihak lain (penyuluh). 

Tahapan – tahapan Adopsi :
Pada dasarnya, proses adopsi pasti melalui tahapan sebelum masyarakat menerima atau menerapkan dengan keyakinannya sendiri. Tahapan dari Adopsi yaitu :
1.      Awwareness, atau kesadaran, yaitu penerima mulai sadar mengenai adanya inovasi yang ditawarkn oleh penyuluh.
2.      Interest, atau tumbuhnya minat atau keinginannya untuk bertanya, mengetahui lebih jauh tentang inovasi yang ditawarkan.
3.      Evaluation, atau penilaian terhadap baik atau buruk mengenai manfaat inovasi yang telah diketahui informasinya secara lebih lengkap.
4.      Trial, atau mencoba dalam skala kecil untuk lebih meyakinkan penilaiannya, sebalum menerapkan untuk skala yang lebih luas lagi.
5.      Adoption, yaitu menerima atau menerapkan dengankeyakinn berdasarkan penilaian dan uji coba yang telah diamatinya sendiri. 
 Dari khasanah kepustakaan diperoleh informasi bahwa kecepatan adopsi, ternyata dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu:

1) Sifat-sifat atau karakteristik inovasi
2) Sifat-sifat atau karakteristik calon pengguna
3) Pengambilan keputusan adopsi
4) Saluran atau media yang digunakan
5) Kualifikasi penyuluh.

Meskipun demikian, Mardikanto (1995) mensinyalir bahwa, identifikasi beragam faktor penentu kecepatan adopsi inovasi itu masih terbatas pada pendekatan proses komunikasi.
Karena itu, dia mencoba menggali lebih jauh dengan melaku-kan pendekatan kebudayaan (Soewardi, 1976), dan pendekat-an sistem agribisnis.
Lebih lanjut, karena kegiatan penyuluhan pertanian dapat dili-hat sebagai sub-sistem pengembangan masyarakat, maka kece patan adopsi inovasi dapat pula dipengaruhi oleh perilaku aparat dan hal-hal lain yang terkait dalam kegiatan pengem-bangan masyarakat.

Studi tentang adopsi inovasi, telah banyak dilakukan oleh berbagai pi-hak. Herman Soewardi (1976), misalnya, telah melakukan studi untuk melihat proses adopsi sebagai proses perkembangan kebudayaan, berdasarkan teori Erasmus:

A = f (M, C, L)

di mana: A = adoption,
M = motivation,
C = cognition, dan
L = limitation.

Di lain pihak, sejalan dengan perkembangan pene-rapan ilmu penyuluhan pembangunan di Indonesia, Margono Slamet (1978) dengan menggunakan pendekatan ilmu komunikasi seperti yang biasa dilakukan oleh Rogers (1969), mengenalkan variabel-variabel penentu kecepatan adopsi yang terdiri atas: sifat-sifat inovasinya, kegiatan promosi yang dila-kukan penyuluh, ciri-ciri sistem sosial masyarakat sasaran, dan jenis pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sasar-an.
Selain itu, proses adopsi inovasi juga dapat didekati dengan pemahaman bahwa proses adopsi inovasi itu sendiri merupa-kan proses yang diupayakan secara sadar demi tercapainya tujuan pembangunan pertanian.
Pembangunan pertanian, menurut alm. Hadisapoetro (1970), pada hakeketanya dapat diartikan sebagai proses turut-campurnya tangan manusia di dalam perkembangan tanaman dan/atau hewan, agar lebih dapat memberikan man-faat bagi kesejahteraan manusia (petani) dan masyarakatnya.
Sebagai suatu proses, pembangunan pertanian merupakan proses interaksi dari ba-nyak pihak yang secara langsung maupun tak-langsung terkait dengan upaya peningkatan produktivitas usahatani dan peningkatan pendapatan serta perbaikan mutu-hidup, melalui penerapan teknologi yang terpilih (Totok Mardikanto, 1988).
Berlandaskan pada pemahaman seperti itu, dapat disimpulkan beberapa pokok-pokok pemikiran tentang adopsi inovasi kaitannya dengan pembangunan pertanian, sebagai berikut:

1) Adopsi inovasi memerlukan proses komunikasi yang terus-menerus untuk me-ngenalkan, menjelaskan, mendidik, dan membantu masyarakat agar tahu, mau, dan mampu menerapkan teknologi terpilih (yang disuluhkan).

2) Adopsi inovasi merupakan proses pengambilan keputusan yang berkelanjutan dan tidak kenal berhenti, untuk: mem-perhatikan, menerima, memahami, meng-hayati, dan mene rapkan teknologi-terpilih yang disuluhkan.

3) Adopsi inovasi memerlukan kesiapan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam praktek berusahatani, dengan memanfaatkan teknologi terpilih (yang disuluhkan).

Selaras dengan itu, maka kajian terhadap faktor-faktor penentu adopsi inovasi dapat dilakukan melalui tiga pende-katan sekaligus, yaitu: pendekatan komunikasi, psiko-sosial, dan sistem agribisnis.

A. Pendekatan Komunikasi

Berlo (1961) menegaskan bahwa, kejelasan komuni-kasi sangat ditentukan oleh keempat unsur-unsurnya, yang ter-diri dari: sumber, pesan, saluran, dan penerimanya.
Bertolak dari konsep ini, maka proses adopsi inovasi diten-tukan oleh kualitas pe-nyuluhan yang mencakup: kualitas penyuluh, sifat-sifat inovasinya, saluran komunikasi yang digunakan, dan ciri-ciri sasaran yang meliputi: status sosial-ekonomi, dan persepsinya terhadap aparat pelaksana kegiatan penyuluhan maupun program-program pembangunan pada umumnya (Rogers, 1969).
1) Sifat-sifat Inovasi

Dilihat dari sifat inovasinya, dapat dibedakan dalam sifat intrinsik (yang melekat pada inovasinya sendiri) maupun sifat ekstrinsik (yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya (Mardikanto, 1988).

Sifat-sifat intrinsik inovasi itu mencakup:
a. informasi ilmiah yang melekat/dilekatkan pada inovasi-nya,
b. nilai-nilai atau keunggulan-keunggulan (teknis, ekonomis, sosial budaya, dan politis) yang melekat pada inovasinya,
c. tingkat kerumitan (kompleksitas) inovasi,
d. mudah/tidaknya dikomunikasikan (kekomunikatifan) ino-vasi,
e. mudah/tidaknya inovasi tersebut dicobakan (trialability),
f. mudah/tidaknyaa inovasi tersebut diamati (observability).




Sedang sifat-sifat ekstrinsik inovasi meliputi:
a. kesesuaian (compatibility) inovas dengan lingkungan setempat (baik lingkungan fisik, sosial budaya, politik, dan kemampuan ekonomis masyarakatnya).
b. tingkat keunggulan relatif dari inovasi yang ditawarkan, atau keunggulan lain yang dimiliki oleh inovasi dibanding dengan teknologi yang sudah ada yang akan diperbaharui/ digaantikannya; baik keunggulan teknis (kecocokan dengan keadaan alam setempat, tingkat produktivitas-nya), ekonomis (besarnya beaya atau keuntungannya), manfaat non ekonomi, maupun dampak sosial budaya dan politis yang ditimbulkannya.

Sehubungan dengan ragam sifat inovasi yang dikemu-kakan di atas, Roy (1981) dari hasil penelitiannya berhasil memberikan urutan jenjang kepentingan dari masing-masing sifat inovasi yang perlu diperhatikan di dalam kegiatan penyuluhan (Tabel 2).

Tabel 2. Urutan Jenjang Kepentingan
Sifat-sifat Inovasi

Urutan Jenjang Kepentingan
Sifat inovasi

1 Tingkat Keuntungan
(profitability)
2 Beaya yang diperlukan
(cost of innovation)
3 Tingkat kerumitan/kesederhanaan
(complexity-simplicity)
4 Kesesuaian dengan lingkungan fisik
(physical compatibility)
5 Kesesuaian dengan lingkungan budaya
(cultural compatibility)
6 Tingkat mudahnya dikomunikasikan
(communcicability)
7 Penghematan tenaga kerja dan waktu
(saving of labour and time)
Dapat/tidaknya dipecah-pecah/dibagi
(divisibility)
Sumber: Crouch and Chamala, 1981


2) Kualitas Penyuluh

Termasuk dalam pengertian kualitas penyuh, terdapat empat tolok-ukur yang perlu mendapat perhatian, yaitu:

a. Kemampuan dan ketrampilan penyuluh untuk berkomu-nikasi
b. Pengetahuan penyuluh tentang inovasi yang (akan) disu-luhkan
c. Sikap penyuluh, baik terhadap inovasi, sasaran, dan pro-fesinya
d. Kesesuaian latar belakang sosial-budaya penyuluh dan sasaran

Selain faktor-faktor yang telah dikemukakan di atas, kecepatan adopsi juga sangat ditentukan oleh aktivitaas yang dilakukan penyuluh, khususnya tentang upaya yang dilakukan penyuluh untuk "mempromosikan" inovasinya. Semakin rajin penyuluhnya menawarkan inovasi, proses adopsi akan semakin cepat pula. Demikian juga, jika penyuluh mampu berkomunikasi secara efektif dan trampil menggunakan saluran komunikasi yang paling efektif, proses adopsi pasti akan berlangsung lebih cepat dibanding dengan yang lainnya.
Berkaitan dengan kemampuan penyuluh untuk berko-munikasi, perlu juga diperhatikan kemampuannya ber-emphaty, atau kemampuan untuk merasakan keadaan yang sedang dialami atau perasaan orang lain.
Kegagalan penyuluhan, seringkali disebabkan karena penyu-luh tidak mampu memahami apa yang sedang dirasakan dan dibutuhkan oleh sasarannya.

3) Sumber informasi yang dimanfaatkan

Gologan yang inovatif, biasanya banyak meman-faatkan beragam sumber informasi, seperti: lembaga pendi-dikan/perguruan tinggi, lembaga penelitian, dinas-dinas yang terkait, media masa, tokoh-tokoh masyarakat (petani) setempat maupun dari luar, maupun lembaga-lembaga komersial (pedagang, dll).
Berbeda dengan golongan yang inovatif, golongan masyarakat yang kurang inovatif umumnya hanya memanfaatkan infor-masi dari tokoh-tokoh (petani) setempat, dan relatif sedikit memanfaat informasi dari media-masa.

3) Saluran komunikasi yang digunakan

Secara konseptual, pada dasarnya dikenal adanya tiga macam saluran atau media komunikasi, yaitu: saluran antar-pribadi (inter-personal), media masa (mass media), dan forum media yang dimaksudkan untuk menggabungkan keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh saluarn antar-pribadi dan media-masa.
Tentang hal ini, media masa biasanya lebih efektif dan lebih murah untuk mengenalkan inovasi pada tahap-tahap penya-daran dan menumbuhkan minat. Sebaliknya, media antar-pribadi biasanya lebih efektif untuk diterapkan pada tahapan yang lebih lanjut, sejak menumbuhkan minat sampai pada penerapannya. Berkenaan dengan itu, semakin banyak media yang digunakan oleh masyarakat, akan memberikan pengaruh yang semakin baik. Sebab, selain jumlah informassi menjadi lebih lengkap, biasanya juga lebih bermutu atau semakin memberikan kejelasan terhadap inovasi yang diterimanya.

Jika inovasi dapat dengan mudah dan jelas dapat disampaikan lewat media masa, atau sebaliknya jika kelompok sasarannya dapat dengan mudah menerima inovasi yang disampaikan melalui media masa, maka proses adopsi akan berlangsung relatif lebih cepat dibanding dengan inovasi yang harus disampaikan lewat media antar pribadi.
Sebaliknya, jika inovasi tersebut relatif sulit disampaikan lewat media masa atau sasarannya belum mampu (dapat) memanfaatkan media masa, inovasi yang disampaikan lewat media antar pribadi akan lebih cepat dapat diadopsi oleh masyarakat sasarannya.

4) Status Sosial-ekonomi Penerima atau Pengguna Inovasi

Rogers (1971) mengemukakan hipotesisnya bahwa setiap kelompok masyarakat terbagi menjadi 5 (lima) kelom-pok individu berdasarkan tingkat kecepatannya mengadopsi inovasi, yaitu:

• 2,5 % kelompok perintis (innovator),
• 13,5 % kelompok pelopor (early adopter),
• 34,0 % kelompok penganut dini (early mayority),
• 13,5 % kelompok penganut lambat (late majority),
• 2,5 % kelompok orang-orang kolot/naluri (laggard).

Sehubungan dengan ragam golongan masyarakat ditinjau dari kecepatannya mengadopsi inovasi, Lionberger (1960) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan seseorang untuk mengadopsi inovasi yang meliputi:

a. Luas usahatani, semakin luas biasanya semakin cepat mengadopsi, karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik.

b. Tingkat pendapatan, seperti halnya tingkat luas usahatani, petani dengan tingkat pendapatan semakin tinggi biasanya akan semakin cepat mengadopsi inovasi.

c. Keberanian mengambil resiko, sebab, pada tahap awal bia-sanya tidak selalu berhasil seperti yang diharapkan.
Karena itu, individu yang memiliki keberanian mengha-dapi resiko biasanya lebih inovatif.

d. Umur, semakin tua (diatas 50 tahun), biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi, dan cenderung hanya melak-sanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat.

e. Tingkat partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar lingkungannya sendiri.
Warga masyarakat yang suka bergabung dengan orang-orang di luar sistem sosialnya sendiri, umumnya lebih inovatif dibanding mereka yang hanya melakukan kontak pribadi dengan warga masyarakat setempat.
f. Aktivitas mencari informasi dan ide-ide baru.
Golongan masyarakat yang aktif mencari informasi dan ide-ide baru, biasanya lebih inovatif dibanding orang-orang yang pasif apalagi yang selalu keptis (tidak percaya) terhadap sesuatu yang baru.

Selain itu, Dixon (1982) mengemukakan beberapa sifat individu yang sangat berperan dalam mempengaruhi kecepataan adopsi inovasi, yang berupa:

a. Prasangka inter personal
Adanya sifat kelompok masyarakat (terutama yang masih tertutup) untuk mencurigai setiap tindakan orang -orang yang berasal dan berada di luar sistem sosialnya, sering-kali berpengaruh terhadap kecepatan adopsi inovasi.
Karena itu, proses adopsi inovasi dapat dipercepat jika penyuluh dapat memanfaatkan tokoh-tokoh atau panutan masyarakat setempat. Sebab, di dalam masyarakat sasaran seperti ini, mereka akan cepaat mengadopsi inovasi yang disampaikan oleh orang-orang yang telah mereka kenal, dan pihak-pihak yang senasib dan sepenanggungan.

b. Pandangan terhadap kondisi lingkungannya yang terbatas
Foster (1965) dan Shanin (1973) dari hasil pengamatannya menyimpulkan bahwa, kecepatan adopsi inovasi sangat tergantung pada persepsi sasaran terhadap keadaan ling-kungan sosial di sekitarnya. Jelasnya, jika mereka keadaan masyarakat (sosial ekonomi, teknologi yang diterapkan) relatif seragam, mereka akan kurang terdorong untuk mengadopsi inovasi yang ditawarkan guna melakukan perubahan-perubahan. Sebaliknya, jika ada seseorang atau beberapa anggota masyarakat sasaran yang memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimilikinya, mereka akan cenderung berupaya keras untuk melakukan perubahan-perubahan demi tercapainya peningkatan atau perbaikan mutu hidup mereka sendiri dan masyarakatnya.

c. Sikap terhadap penguasa
Di dalam kehidupaan sehari-hari, sebenarnya terdapat dualisme tentang sikap masyarakat terhadap penguasanya. Di satu pihak, elit penguasa dinilai sebagai kelompok yang selalu meendominasi dan mengeksploitasi warga masyarakat pada umumnya, dan di pihak lain dinilai seba-gai pelindung dan kelompok yang memegang kekuasaan dan mampu memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi.
Dualisme sikap terhadap penguasa seperti ini, jugaa berpengaruh kepada kecepatan adopsi inovasi, terutama jika kegiatan penyuluhannya selalu diikuti/didampingi atau dilaksanakaan sendiri oleh aparat pemerintah.
Sehingga kehadiran aparat penguasa kadang-kadang sa-ngat diperlukan, tetapi di pihak lain sering kali juga harus dihindarkan.

d. Sikap kekeluargaan
Sebagaimana juga telah dikemukakan pada Bab sebelum-nya, tidak ada satupun warga masyarakat sasaran yang mampu mengambil keputusan secara individual, tanpa mengikut sertakan keluarga atau kerabat dekatnya.
Oleh sebab itu, di dalam sistem sosial yang sikap keke-luargannya masih tebal, adopsi inovasi berlangsung relatif lambat, karena setiap pengambilan keputusan untuk mengadopsi selalu harus menunggu kesepakatan seluruh anggota keluarga atau kerabatnya. Dan ini relatif berbeda dengan masyarakat komersial yang individualistis, yang pada umumnya dapat mengambil keputusan sendiri untuk mengadopsi inovasi yang ditawarkan penyuluhnya.

e. Fatalisme
Fatalisme adalah suatu kondisi yang menunjukkan keti-dakmampuan seseorang untuk merencanakan masa depan-nya sendiri, sebagai akibat dari pengaruh faktor-faktor luar yang tidak mampu dikuasainya.
Kondisi seperti ini, umumnya dimiliki oleh masyarakat petani yang kehidupan maupun usahataninya relatif masih sangat tergantung kepada keadaan alam, dan atau diper-kuat lagi dengan sistem pemerintahan otoriter yang kurang memberikan kesempatan kepada masyarakatnya untuk menentukan nasibnya sendiri. Dalam kondisi fatalisme seperti itu, adopsi inovasi akan berlangsung sangat lam-ban, karena akan menghadapi resiko dan ketidakpastian yang sangat besar.

f. Kelemahan Aspirasi
Sebagai akibat lanjutan dari kondisi fatalisme adalah lemahnya aspirasi atau cita-cita untuk menikmati kehi-dupan yang lebih baik. Dalam kondisi seperti ini, sebagian besar masyarakat sasaran akan bersifat pasrah, dan cukup puas dengan apa yang dapat dinikmati tanpa adanya cita-cita dan harapan untuk dapat hidup yang lebih baik. Sehingga, setiap inovasi yang ditawarkan akan sangat lamban diadopsi.

g. Hanya berpikir untuk hari ini
Dengan lemahnya aspirasi yang disebabkan oleh fatalisme di atas, warga masyarakat yang bersangkutan tidak pernah berpikir tentang hari esok. Yang menyelimuti hati dan pikiran mereka hanyalah: bagaimana untuk bisaa hidup hari ini sepuas-puasnya, sedang hari esok tergantung kepada nasib.
Masyarakat seperti ini hanya berpandangan "quick yielding" yang cepat dapat dinikmati, dan akan sangat mengadopsi inovasi yang umumnya berupa investasi untuk mencapai tujuan perbaikan mutu hidup dalam jangka panjang.

h. Kosmopolitnes, yaitu tingkat hubungannya dengan "dunia luar" di luar sistem sosialnya sendiri.
Kosmopolitnes, dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media masaa.
Bagi warga masyarakat yang relatif lebih kosmopolit, adopsi inovasi dapat berlangsung lebih cepat. Tetapi, bagi yang lebih "localite" (tertutup, terkungkung di dalam sistem sosialnya sendiri, proses adopsi inovasi akan ber-langsung sangat lamban karena tidak adanya keinginan-keinginan baru untuk hidup lebih "baik" seperti yang telah dapat dinikmati oleh orang-orang lain di luar sistem sosialnya sendiri.

i. Kemampuan berpikir kritis, dalam arti kemampuan untuk menilai sesuatu keadaan (baik/buruk, pantas/tidak pantas, dll).
Akibatnya adalah, meskipun inovasi yang ditawarkan itu akan benar-benar dapat memberikaan peluang untuk meraih mutu hidup yang lebih baik, proses pengambilan keputusan untuk mengadopsi tetap juga berjalan lamban.

j. Tingkat kemajuan peradabannya
Kemajuan tingkat peradaban, akan sangat menentukan ragam dan mutu kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh setiap individu dalam sistem sosial yang bersang-kutan (Lippit, 1958).
Karena itu, tingkat adopsi inovasi di dalam masyarakat yang lebih maju akaan relatif lebih cepat, karena setiap warga masyarakat terdorong untuk selalu ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang terus menerus mengalami perubahaan, baik dalam ragaam kebutuhannya maupun mutu yang diinginkannya.

3) Cara pengambilan keputusan
Terlepas dari ragam karakteristik individu dan masyarakat, cara pengambilan keputusan yang dilakukan untuk mengadopsi sesuatu inovasi juga akan mempengaruhi kecepatan adopsi. Tentang hal ini, jika keputusan adopsi dapat dilakukan secara pribadi (individual) relatif lebih cepat dibanding pengambilan keputusan berdasarkan keputusan bersama (kelompok) warga masyarakat yang lain, apalagi jika harus menunggu peraturan-peraturan tertentu (seperti: rekomendasi pemerintah/penguasa).

B. Pendekatan Pendidikan

Osgood (1953) melalui penjelasannya mengenai teori rangsangan dan tanggapan (stimulus-response theory), mengemukakan bahwa proses adopsi yang merupakan salah satu bentuk tanggapan atas rangsangan (inovasi) yang diterima, sangat tergantung kepada manfaat atau reward, yang dapat diharapkannya, sedang besarnya tanggapan tersebut tergantung kepada: besar atau jumlah manfaat, kecepatan waktu penerimaan manfaat, frekuensi penerimaan manfaat, dan besarnya energi atau korbanan yang dikeluarkan.


C. Pendekatan psiko-sosial

Secara psikologis, kegiatan yang dilakukan oleh sese-orang (untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu), dilatar belakangi oleh adanya motivasi, yaitu tekanan atau dorongan (yang berupa kebutuhan, keinginan, harapan dan atau tujuan-tujuan) yang menyebabkan sesoan melakukan kegiatan tersebut (Berelson and Steiner, 1967; Newman and Newman, 1979).
Pal (Dahama dan Bhatnagar, 1989) mengungkapkan adanya 9 motivasi petani untuk menerapkan suatu inovasi, antara lain adalah: motif ekonomi, motif belajar, motif aktualisasi diri, motif afiliasi dan motif untuk memperoleh kekuasaan di lingkungannya.

D. Pendekatan Sistem Agribisnis

Soeharjo (1991) mengemukakan bahwa, kegiatan usahatani merupakan salah satu sub-sistem agribisnis, yang terdiri dari: sub-sistem pengadaan dan penyaluran input, sub-sistem produksi, sub-sistem pasca panen dan pemasaran, dan sub-sistem pendukung yang terdiri dari beragam unsur pelayanan (permodalan, perijinan, dll).
Sehubungan dengan itu, Sinaga (1987) menegaskan bahwa analisis tentang penggunaan input di dalam sub-sistem pro-duksi usaha tani, harus dilihat sebagai salah satu mata rantai dari analisis-analisis permintaan input, analisis proses pro-duksi, dan analisis pemasaran produk.

Berdasarkan pendekatan ini, maka variabel-variabel yang perlu diperhatikan dalam proses adopsi adalah:

1) Kualitas pelayanan input, khususnya yang berkaitan de-ngan: pengadaan sarana produksi dan kredit.
2) Aplikasi dan supervisi dalam penggunaan input
3) Jaminan harga dan sistem pemasaran produk


E. Pendekatan Pengembangan Masyarakat

Dari “definisi baru” yang diberikan terhadap istilah penyuluhan pertanian (Bab 2) secara jelas dinyatakan bahwa tujuan akhir dari penyuluhan pertanian adalah untuk mewu-judkan masyarakat pertanian yang mandiri, profesional, dan berjiwa kewirausahaan.
Pemahaman seperti itu, membawa implikasi bahwa kesepatan adopsi inovasi yang diupayakan melalui kegiatan penyuluhan akan sangat ditentukan oleh:

1) Perilaku atau komitmen pimpinan wilayah selaku adminis-trator dan penanggungjawab pembangunan terhadap arti penting penyuluhan sebagai faktor penentu dan pelancar pembangunan.

2) Dukungan stakeholder yang lain yang memungkinkan masyarakat untuk dapat mengadopsi inovasi yang ditawar-kan, terutama lembaga kredit, dan pelaku bisnis pertanian yang lain.

3) Pemahaman masyarakat tentang pentingnya penyuluhan bagi percepatan pembangunan yang menuntut partisipasi masyarakat. 
daftar pustaka:
Dinas Kesehatan Prop.Jatim ,Buku Info Kesehatan Remaja, 2008.Dinkes Jatim
Levis, L. R. 1996. Komunikasi Penyuluhan Pedesaan. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Nasution, Z. 2004. Komunikasi Pembangunan. Pengenalan Teori dan Penerapannya. Rajawali Pers. Jakarta.
Nurudin. 2005. Sistem Komunikasi Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Apa Difusi Inovasi ?????????????

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Sejarah Perkembangan Difusi Inovasi
Difusi Inovasi adalah teori tentang bagaimana sebuah ide dan teknologi baru tersebar dalam sebuah kebudayaan. Teori ini dipopulerkan oleh Everett Rogers pada tahun 1964 melalui bukunya yang berjudul Diffusion of Innovations. Ia mendefinisikan difusi sebagai proses dimana sebuah inovasi dikomunikasikan melalui berbagai saluran dan jangka waktu tertentu dalam sebuah sistem sosial.
Inovasi merupakan ide, praktik, atau objek yang dianggap baru oleh manusia atau unit adopsi lainnya. Teori ini meyakini bahwa sebuah inovasi terdifusi ke seluruh masyarakat dalam pola yang bisa diprediksi. Beberapa kelompok orang akan mengadopsi sebuah inovasi segera setelah mereka mendengar inovasi tersebut. Sedangkan beberapa kelompok masyarakat lainnya membutuhkan waktu lama untuk kemudian mengadopsi inovasi tersebut. Ketika sebuah inovasi banyak diadopsi oleh sejumlah orang, hal itu dikatakan exploded atau meledak.
Difusi inovasi sebenarnya didasarkan atas teori pada abad ke 19 dari seorang ilmuwan Perancis, Gabriel Tarde. Dalam bukunya yang berjudul “The Laws of Imitation” (1930), Tarde mengemukakan teori kurva S dari adopsi inovasi, dan pentingnya komunikasi interpersonal. Tarde juga memperkenalkan gagasan mengenai opinion leadership , yakni ide yang menjadi penting di antara para peneliti efek media beberapa dekade kemudian. Tarde melihat bahwa beberapa orang dalam komunitas tertentu merupakan orang yang memiliki ketertarikan lebih terhadap ide baru, dan dan hal-hal teranyar, sehingga mereka lebih berpengetahuan dibanding yang lainnya. Orang-orang ini dinilai bisa memengaruhi komunitasnya untuk mengadopsi sebuah inovasi.
1.2    Tokoh Pemikir dan Buah Pemikirannya
Pertama kali teori difusi inovasi di perkenalkan oleh seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde (1930), memperkenalkan Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi waktu. Pemikiran Tarde menjadi penting karena secara sederhana bisa menggambarkan kecenderungan yang terkait dengan proses difusi inovasi. Rogers (1983) mengatakan, Tarde’s S-shaped diffusion curve is of current importance because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”. Dan sejak saat itu tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-penelitian sosiologi.
Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Bryce Ryan dan Neal Gross, mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada para petani di Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui sekaligus menegaskan tentang difusi inovasimodel kurva S. Salah satu kesimpulan penelitian Ryan dan Gross menyatakan bahwa “The rate of adoption of the agricultural innovation followed an S-shaped normal curve when plotted on a cumulative basis over time.” Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun 1960, di mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik yang lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan sebagainya. Di sinilah muncul tokoh-tokoh teori Difusi Inovasi seperti Everett M. Rogers dengan karya besarnya Diffusion of Innovation (1961); F. Floyd Shoemaker yang bersama Rogers menulis Communication of Innovation: A Cross Cultural Approach (1971) sampai Lawrence A. Brown yang menulis Innovation Diffusion: A New Perpective (1981).



DIFUSI INOVASI
Manusia pada umumnya adalah bersifat aktif  yang dilakukuan secara sadar untuk mengembangkan dirinya kearah yang lebih baik. Segala bentuk perubahan pada diri manusia baik secara individu maupun kelompok dapat diamati dari perubahan – perubahan perilakunya. Proses perkembangan manusia sebagian di tentukan oleh kehendak sendiri dan sebagian di tentukan oleh alam atau lingkungan sekitarnya.
1  PENGERTIAN
Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial.
Rogers (1961) dalam Mulyana S. (2009) mendefinisikan Inovasi sebagai, suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaran pesan-pesan yang berupa gagasan baru.Selanjutnya, definisidifusi menyangkut “which is the spread of a new idea from its source of invention or creation to its ultimate users or adopters.” 
Parker (1974), mendefinisikan difusi sebagai suatu proses yang berperan memberi nilai tambah pada fungsi produksi atau proses ekonomi. Difusi merupakan suatu tahapan dalam proses perubahan teknik (technical change). Menurutnya difusi merupakan suatu tahapan dimana keuntungan dari suatu inovasi berlaku umum. Dari inovator, inovasi diteruskan melalui pengguna lain hingga akhirnya menjadi hal yang biasa dan diterima sebagai bagian dari kegiatan produktif.
2  ELEMEN- ELEMEN DIFUSI INOVASI
Sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu:
1.      Inovasi;
Gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ”baru” dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali.
2.      Saluran komunikasi;
”Alat” untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima.
Dalam memilih saluran komunikasi, sumber, paling tidak perlu memperhatikan:
a.       Tujuan diadakannya komunikasi dan
b.      Karakteristik penerima.
Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa.
Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal.
3.      Jangka waktu;
Proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu.
Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam:
a.       Proses pengambilan keputusan inovasi,
b.      Keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi, dan
c.       Kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
4.      Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama.   
Lebih lanjut teori yang dikemukakan Rogers (1995) memiliki relevansi dan argumen yang cukup signifikan dalam proses pengambilan keputusan inovasi. Teori tersebut antara lain menggambarkan tentang variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi.
Menurut Ardianto dkk (2009), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup:
1.      Atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion),
a.       Keuntungan relative (relative advantage),
adalah inovasi dapat diterima oleh masyarakat apabila menguntungkan secara ekonomis atau dapat meningkatkan prestise/status social serta kenyamanan dan kepuasan, juga merupakan unsur yang penting.
b.      Kesesuaian (compatibility),
adalah suatu inovasi dirasakan ajeg atau konsisten dengan nilai – nilai yang berlaku, pengalaman yang telah dimiliki, kesesuaian dengan tradisi dan kebutuhan mereka yang melakukan adopsi.
c.       Kerumitan (complexity),
adalah mutu derajat dimana inovasi dirasakan sukar untuk dimengerti dan dipergunakan. Selanjutnya Mulyana S (2009) mengatakan bahwa kerumitan dari inovasi, apabila dilaksanakan oleh sasaran.Kompleksitas inovasi yang diterima oleh anggota dalam sistem sosial sangat berpengaruh.
d.      Kemungkinan di coba (trialability),
adalah mutu derajat dimana inovasi di eksperimentasikan pada landasan yang terbatas.Mulyana S. (2009) mengatakan bahwa, dapat diujicobakan, setiap inovasi yang dibawa dapat diujicobakan dulu oleh sasaran sehingga dapat dilanjutkan/tidak, tergantung dari persepsi sasaran terhadap inovasi tersebut.
e.       Kemungkinan diamati (observability),
adalah hasil inovasi dapat disaksikan oleh orang lain atau dapat dilihat/tampak, dapat dikomunikasikan dan dapat dideskripsikan.
2.      Jenis keputusan inovasi (type of innovation decisions),
a.  Keputusan individual:
1)  Keputusan optional melalui proses:
2)  Keputusan Kolektif
b.  Keputusan Otoritas:
     Dimana suatu keputusan diambil dengan paksaan, atas dasar kepentingan atau mendesaknya suatu inovasi untuk diadopsi atau digunakan atau karena urgensi dari suatu inovasi tersebut harus digunakan dalam suatu sistem sosial. Karena apabila inovasi itu tidak segera dikhawatirkan terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Disini dalam pengambilan keputusan tidak harus melalui tahapan-tahapan pengambilan keputusan.
3.      Saluran komunikasi (communication channel),
a.   Sumber,
b.  Media/khalayak
c.  Objek/interpersonal
4.      Kondisi sistem sosial (nature of social system),
Hal yang harus diperhatikan:
a.  Norma masyarakat,
b.  Toleransi terhadap penyimpangan
c.  Pola komunikasi.
5.      Peran agen perubah (change agents). 
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan agen: gencarnya promosi yang berorientasi pada klien, kerjasama dengan tokoh masyarakat, kredibilitas agen di mata klien.
3  TAHAPAN PERISTIWA YANG MENCIPTAKAN PROSES DIFUSI
1.      Mempelajari inovasi:
Tahapan ini merupakan awal ketika masyarakat mulai melihat dan mengamati inovasi baru dari berbagai sumber, khususnya media massa. Pengadopsian awal biasanya merupakan orang-orang yang rajin membaca koran dan menonton televisi, sehingga mereka bisa menangkap inovasi baru yang ada. Jika sebuah inovasi dianggap sulit dimengerti dan sulit diaplikasikan, maka hal itu tidak akan diadopsi dengan cepat oleh mereka, lain halnya jika yang dianggapnya baru merupakan hal mudah, maka mereka akan lebih cepat mengadopsinya. Beberapa jenis inovasi bahkan harus disosialisasikan melalui komunikasi inerpersonal dan kedekatan secara fisik.
2.      Pengadopsian:
Dalam tahap ini masyarakat mulai menggunakan inovasi yang mereka pelajari. Diadopsi atau tidaknya sebuah inovasi oleh masyarakat ditentukan juga oleh beberapa faktor. Riset membuktikan bahwa semakin besar keuntungan yang didapat, semakin tinggi dorongan untuk mengadopsi perilaku tertentu. Adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh keyakinan terhadap kemampuan seseorang. Sebelum seseorang memutuskan untuk mencoba hal baru, orang tersebut biasanya bertanya pada diri sendiri, apakah mereka mampu melakukannya? Maka mereka akan cenderung mengadopsi inovasi tersebut. Selain itiu, dorongan status juga menjadi faktor motivasional yang kuat dalam mengadopsi inovasi.
Beberapa orang ingin selalu menjadi pusat perhatian dalam mengadopsi inovasi untuk menunjukkan status sosialnya di hadapan orang lain. Adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh nilai yang dimiliki individu tersebut serta persepri dirinya. Jika sebuah inovasi dianggapnya menyimpang atau ridak sesuai dengan nilai yang ia anut, maka ia tidak akan mengadopsinya. Semakin besar pengorbanan yang dikeluarkan  untuk mengadopsi sebuah inovasi, semakin kecil tingkat adopsinya.
3.      Pengembangan jaringan sosial:
Seseorang yang telah mengadopsi sebuah inovasi akan menyebarkan inovasi tersebut kepada jaringan sosial di sekitarnya, sehingga sebuah inovasi bisa secara luas diadopsi oleh masyarakat. Divusi sebuah inovasi tidak lepas dari proses penyampaian dari satu individu lain melalui hubungan sosial yang mereka miliki. Riset menunjukkan bahwa sebuah kelompok yang solid dan dekat satu sama lain mengadopsi inovasi melalui kelompoknya. Dalam proses asopsi inovasi, komunikasi melalui saluran media massa lebih cepat menyadarkan masyarakat mengenai penyebaran inovasi baru dibanding saluran komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal mempengaruhi manusia untuk mengadopsi inovasi yang sebelumnya telah diperkenalkan oleh media massa.
4  TAHAPAN DARI PROSES ADOPSI  INOVASI
Rogers.E.M dan Shoemaker G.F.,dalam Mulyana S. (2009) mengemukakan bahwa ada 4 (empat) tahap, proses adopsi inovasi yaitu:
1.      Tahap munculnya pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami eksistensi dan keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi. Pada tahap ini, seseorang belum memiliki informasi mengenai inovasi baru. Untuk itu informasi mengenai inovasi tersebut harus disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada.
2.      Tahap persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik
3.      Tahap pengambilan keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada pemilihan adopsi atau penolakan inovasi.
4.      Tahapan implementasi (Implementation), ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi sambil mempelajari tentang inovasi tersebut.
5.      Tahapan konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya.
5  TAHAPAN ADOPTER
Anggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adopter (penerima inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan dalam menerima inovasi).Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujukan adalah pengelompokkan berdasarkan kurva adopsi, yang telah duji oleh Rogers (1961).  
Gambaran tentang pengelompokan adopter dapat dilihat sebagai berikut:
1.      Innovators: Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya: petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi.
2.      Early Adopters (Perintis/Pelopor): 13,5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di dalam tinggi.
3.      Early Majority (Pengikut Dini): 34% yang menjadi pera pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi.
4.      Late Majority (Pengikut Akhir): 34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan social, terlalu hati-hati.
5.      Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional): 16% terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders,sumberdaya terbatas.
6  PENERAPAN DAN KETERKAITAN TEORI
Pada awalnya, bahkan dalam beberapa perkembangan berikutnya,  teori Difusi Inovasi senantiasa dikaitkan dengan proses pembangunan masyarakat. Inovasi merupakan awal untuk terjadinya perubahan sosial, dan perubahan sosial pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat.
Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Mulyana S (2009) menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses dimana perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial.
Perubahan sosial terjadi dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu:
1.        Penemuan (invention),
Penemuan adalah proses dimana ide/gagasan baru diciptakan atau dikembangkan.
2.        Difusi (diffusion),
Difusi adalah proses dimana ide/gagasan baru  dikomunikasikan kepada anggota sistem sosial,
3.        Konsekuensi (consequences),
Konsekuensi adalah suatu perubahan dalam sistem sosial sebagai hasil dari adopsi atau penolakan inovasi.
ROGER  menawarkan alternative mekanisme Difusi Inovasi dalam Lembaga Pemerintahan, yaitu ;
1.      Agenda Setting
Pada tahap ini dilakukan identifikasi kebutuhan lembaga. dengan Identifikasi dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan “ Apakah Inovasi yang bersangkutan dibutuhkan lembaga.
2.       Maching
Pada tahap ini terjadi proses mencocokkan, melakukan redesign organisasi untuk menyesuaikan dengan inovasi. Organisasi dapat memutuskan bahwa inovasi yang akan di difusi mach atau mismatch. Apabila menurut penilaian terjadi mismatch maka inovasi dapat ditolak. Keputusan ini penting karena akan menentukan langkah selanjutnya.
3.      Restrukturing / Redefining
Ketika tahap 2 di putuskan bahwa inovaso mach dengan organisasi maka harus mulai melakukan modifikasi terhadap inovasi tersebut sehingga inovasi mulai mengurangi karakter bawaannya dan mulai menyatu dengan karakter organisasi. Dalam tahap ini inovasi di reinvented  sehingga menjadi inovasi yang memiliki karakter organisasi.Dengan demikian juga secara otomatis terjadi stukturisasi lembaga sebagai dampak dari implementasi inovasi.
4.      Clarifying
Pada tahap ini inovasi diimplementasikan secara luas sehingga ide-ide yang di bawa oleh innovator lambat laun menjadi kebiasaan bagi setiap anggota organisasi.
5.       Routinizing
Pada tahap ini inovasi telah menjadi ide-ide dan telah menjadi kegiatan rutinitas yang menyatu dengan kegiatan organisasi. Ide-ide inovasi telah melebur dengan organisasi menjadi pengetahuan, cara berfikir dan cara bertindak.
7  KASUS-KASUS APLIKASI TEORI DIFUSI INOVASI
PENGEMBANGAN BUKU INFO REMAJA DAN BUKU KESEHATAN REMAJA DI KABUPATEN BONDOWOSO JAWA TIMUR
( Sumber : Dinas Kesehatan Kab.Bondowoso , Dinas Kesehatan Prop.Jawa Timur, 2011 )
Buku info Kesehatan Remaja dan Buku Kesehatan Remaja di kembangkan sebagai tujuan memberikan pengetahuan, informasi serta meningkatkan kualitas kesehatan remaja. Buku ini berisi tentang Promosi Kesehatan khususnya tentang informasi tumbuh kembang remaja, reproduksi sehat remaja, Gizi Remaja, Catatan Riwayat kesehatan remaja, Skrening kesehatan pada Remaja serta catatan kesehatan remaja. Buku ini di ibaratkan sebagai diare/ catatan pribadi remaja.
 Buku Info Kesehatan Remaja dan Buku Kesehatan Remaja , dikembangkan pada tahun 2008, dan mulai di sosialisasikan pada tahun 2009. Dimana uji coba di laksanakan di tiga ( 3 ) Kabupaten yaitu Bondowoso, Tulung Agung, Probolinggo  ( 3 Kabupaten Binaan UNICEF ) .Sasaran pengggunaan buku ini adalah semua anak dan Remaja baik di tingkat pendidikan Formal ( SMP, SMA, SMK,MTs, MA ), Pendidikan non formal ( Pondok pesantren, Kelompok Remaja masjid, remaja gereja dll ) serta disosialisasikan ke anak jalanan. Penggunaan buku ini serentak di gunakan di Jawa Timur sejak tahun 2010 ,khususnya di Kabupaten Bondowoso.
Pengembangan inovasi Penggunaan Buku Info Kesehatan Remaja dan Buku Kesehatan Remaja ( Buku KEREM ) banyak tantangan dan kendala yang di hadapi, sejak mulai di kembangkan sampai saat ini masih juga banyak kendala terutama pada pengguna buku remaja di Pendidikan Non Formal ( Pondok Pesantren ). Dimana buku Kesehatan Remaja maupun Buku Info di anggap tabu karena memberikan informasi tentang tumbuh kembang serta pendidikan seks pada remaja.
Adapun Aplikasi buku Kesehatan Remaja ini di hubungkan dengan Teori Difusi dan Inovasi yaitu :
1.      ANTECEDENT
Ciri Penerima :
·         Remaja di kabupaten Bondowoso berkultur religious keagamaan di dalam kehidupan sehari-hari terutama di daerah pedesaan banyak mengikuti pembelajaran di Pondok pesanten. Sedangkan ada remaja baik di desa maupun kota juga pembelajaran di Pendidikan formal.
·         Banyaknya usia pernikahan dini di kalangan remaja di sebabkan karena factor budaya serta pengetahuan yang kurang dari para orang tua serta remaja sendiri terhadap Reproduksi sehat. Data usia perinikahan dini ( menikah kurang dari 20 tahun ) .
·         Remaja di kabupaten Bondowoso khususnya sebagian besar berkeinginan memperoleh informasi kesehatan, khususnya tentang kesehatan remaja.
Ciri Sistem Sosial :
·         Remaja di kabupaten latar budaya adalah suku Madura hampir 80 %  sedangkan 20 % suku jawa,etnis arab dan Tionghoa.  ( Sumber : BPS Kab Bondowoso 2010 ).
·         Masyarakat Bondowoso sebagian besar masih masyarakat tradisional dan sub modern dimana rasa kebersamaan serta penganut tokoh agama sangat kuat.
2.       PROSES
·         Pengetahuan : tentang Kesehatan Reproduksi remaja dengan pengembangan Buku Info Remaja dan Buku Kesehatan Remaja. Disosialisasikan pada kalangan remaja di kabupaten Bondowoso sejak tahun 2009 dan serentak di laksanakan pengunaanya tahun 2010.
·         Persuasi :
1.      Pendekatan melalui Pendidik Sebaya (PE ) remaja  yang di kembangkan tahun 2007 di kabupaten Bondowoso bersama Petugas Penanggung jawab Pelayanan Kesehatan Remaja di Puskesmas .
2.      Bidang Kesga ( Dinkes ) melakukan  pendekatan serta advokasi  dan kerja sama dengan lintas sector ( DIKNAS, KBPP, BAPEMAS, BAPPEDA,DEPAG , DINSOS ) .
3.      Pendekatan pada remaja langsung di Pendidikan Formal maupun non formal ( pondok pesanten ) melalui Kelompok Saresahan Remaja serta Siaran Radio interaktif tentang Kesehatan Reproduksi Remaja.
·         Keputusan :
1.      Adopsi : setelah adanya sosialisasi serta pendekatan remaja yang dilakukan  PE ( peer educator ) serta petugas kesehatan , di kalangan remaja khususnya dipendidikan Formal dan sebagian remaja di pendidikan non formal, Remaja  mau menggunakan buku info dan buku kesehatan remaja sebagai sumber informasi tentang kesehatan remaja. Serta terus memanfaatkan buku tersebut. Adapun sebagian kecil remaja di tingkat pendidikan non formal maupun formal tidak terus menggunakan dengan alasan malas atau buku tidak gratis. Tetapi tahun 2010 pengadaan buku tersebut dianggarkan melalui APBD II maupun APBD I, sehingga remaja gratis memperoleh buku tersebut.
2.      Menolak : Keputusan menolak di dasarkan karena merasa tabu dan terlalu vulgar terhadap keterangan informasi. Khusunya di tingkat pendidikan non formal (PONPES). Dengan berjalannya waktu sudah banyak PONPES mau menggunakan buku tersebut tetapi ada juga yang tetap menganggap tabu dan tidak boleh di gunakan.
·         Implementasi      : Para remaja khususnya di tingkat pendidikan formal serta sebagian kecil remaja di ponpes mau mempelajari serta menggunaka buku tersebut.
·         Konfirmasi     :    Para remaja sudah mulai mencari infomasi tentang buku kesehatan remaja serta mulai tersa manfaatnya
·         Konsekuensi :    Di kabupaten Bondowoso terus di adopsi ( terus di gunakan ) penggunaan buku Info Remaja serta Buku Kesehatan Remaja sebagai sarana memperoleh Informasi Kesehatan pada remaja.



1  Kesimpulan
Pengembangan inovasi Penggunaan Buku Info Kesehatan Remaja dan Buku Kesehatan Remaja ( Buku KEREM ) banyak tantangan dan kendala yang di hadapi, sejak mulai di kembangkan sampai saat ini masih juga banyak kendala terutama pada pengguna buku remaja di Pendidikan Non Formal ( Pondok Pesantren ). Dimana buku Kesehatan Remaja maupun Buku Info di anggap tabu karena memberikan informasi tentang tumbuh kembang serta pendidikan seks pada remaja
Banyaknya usia pernikahan dini di kalangan remaja di sebabkan karena factor budaya serta pengetahuan yang kurang dari para orang tua serta remaja sendiri terhadap Reproduksi sehat. Data usia perinikahan dini ( menikah kurang dari 20 tahun ). 
 
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, B. 2007. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Kencana. Jakarta
Dilla, S. 2007. Komunikasi Pembangunan: Pendekatan Terpadu. Simbiosa. Bandung.
Dinas Kesehatan Prop.Jatim ,Buku Kesehatan Remaja, 2008.Dinkes Jatim
Dinas Kesehatan Prop.Jatim ,Buku Info Kesehatan Remaja, 2008.Dinkes Jatim
Levis, L. R. 1996. Komunikasi Penyuluhan Pedesaan. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Nasution, Z. 2004. Komunikasi Pembangunan. Pengenalan Teori dan Penerapannya. Rajawali Pers. Jakarta.
Nurudin. 2005. Sistem Komunikasi Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta.
Roger, Evertt M, (1964) Diffusion of innovations.Glenceo : Free Press. New York.
Rogers, Everett M. dan F. Floyd Shoemaker. Communication of Innovations. Terjemahan Abdillah Hanafi Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Usaha Nasional. Surabaya.
Rogers, E. M. 2003, Diffusion of Innovations: Fifth Edition. Free Press. New York
http://achmad 42.wordpress.com/2009/10/22 teori difusi inovasi
http://www.scipd.com/doc/56138197/teori-difusi-inovasi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS