cari

Diberdayakan oleh Blogger.

UM the learning of univerty

Cari

RSS

Apa Difusi Inovasi ?????????????

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Sejarah Perkembangan Difusi Inovasi
Difusi Inovasi adalah teori tentang bagaimana sebuah ide dan teknologi baru tersebar dalam sebuah kebudayaan. Teori ini dipopulerkan oleh Everett Rogers pada tahun 1964 melalui bukunya yang berjudul Diffusion of Innovations. Ia mendefinisikan difusi sebagai proses dimana sebuah inovasi dikomunikasikan melalui berbagai saluran dan jangka waktu tertentu dalam sebuah sistem sosial.
Inovasi merupakan ide, praktik, atau objek yang dianggap baru oleh manusia atau unit adopsi lainnya. Teori ini meyakini bahwa sebuah inovasi terdifusi ke seluruh masyarakat dalam pola yang bisa diprediksi. Beberapa kelompok orang akan mengadopsi sebuah inovasi segera setelah mereka mendengar inovasi tersebut. Sedangkan beberapa kelompok masyarakat lainnya membutuhkan waktu lama untuk kemudian mengadopsi inovasi tersebut. Ketika sebuah inovasi banyak diadopsi oleh sejumlah orang, hal itu dikatakan exploded atau meledak.
Difusi inovasi sebenarnya didasarkan atas teori pada abad ke 19 dari seorang ilmuwan Perancis, Gabriel Tarde. Dalam bukunya yang berjudul “The Laws of Imitation” (1930), Tarde mengemukakan teori kurva S dari adopsi inovasi, dan pentingnya komunikasi interpersonal. Tarde juga memperkenalkan gagasan mengenai opinion leadership , yakni ide yang menjadi penting di antara para peneliti efek media beberapa dekade kemudian. Tarde melihat bahwa beberapa orang dalam komunitas tertentu merupakan orang yang memiliki ketertarikan lebih terhadap ide baru, dan dan hal-hal teranyar, sehingga mereka lebih berpengetahuan dibanding yang lainnya. Orang-orang ini dinilai bisa memengaruhi komunitasnya untuk mengadopsi sebuah inovasi.
1.2    Tokoh Pemikir dan Buah Pemikirannya
Pertama kali teori difusi inovasi di perkenalkan oleh seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde (1930), memperkenalkan Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi waktu. Pemikiran Tarde menjadi penting karena secara sederhana bisa menggambarkan kecenderungan yang terkait dengan proses difusi inovasi. Rogers (1983) mengatakan, Tarde’s S-shaped diffusion curve is of current importance because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”. Dan sejak saat itu tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-penelitian sosiologi.
Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Bryce Ryan dan Neal Gross, mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada para petani di Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui sekaligus menegaskan tentang difusi inovasimodel kurva S. Salah satu kesimpulan penelitian Ryan dan Gross menyatakan bahwa “The rate of adoption of the agricultural innovation followed an S-shaped normal curve when plotted on a cumulative basis over time.” Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun 1960, di mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik yang lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan sebagainya. Di sinilah muncul tokoh-tokoh teori Difusi Inovasi seperti Everett M. Rogers dengan karya besarnya Diffusion of Innovation (1961); F. Floyd Shoemaker yang bersama Rogers menulis Communication of Innovation: A Cross Cultural Approach (1971) sampai Lawrence A. Brown yang menulis Innovation Diffusion: A New Perpective (1981).



DIFUSI INOVASI
Manusia pada umumnya adalah bersifat aktif  yang dilakukuan secara sadar untuk mengembangkan dirinya kearah yang lebih baik. Segala bentuk perubahan pada diri manusia baik secara individu maupun kelompok dapat diamati dari perubahan – perubahan perilakunya. Proses perkembangan manusia sebagian di tentukan oleh kehendak sendiri dan sebagian di tentukan oleh alam atau lingkungan sekitarnya.
1  PENGERTIAN
Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial.
Rogers (1961) dalam Mulyana S. (2009) mendefinisikan Inovasi sebagai, suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaran pesan-pesan yang berupa gagasan baru.Selanjutnya, definisidifusi menyangkut “which is the spread of a new idea from its source of invention or creation to its ultimate users or adopters.” 
Parker (1974), mendefinisikan difusi sebagai suatu proses yang berperan memberi nilai tambah pada fungsi produksi atau proses ekonomi. Difusi merupakan suatu tahapan dalam proses perubahan teknik (technical change). Menurutnya difusi merupakan suatu tahapan dimana keuntungan dari suatu inovasi berlaku umum. Dari inovator, inovasi diteruskan melalui pengguna lain hingga akhirnya menjadi hal yang biasa dan diterima sebagai bagian dari kegiatan produktif.
2  ELEMEN- ELEMEN DIFUSI INOVASI
Sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu:
1.      Inovasi;
Gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ”baru” dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali.
2.      Saluran komunikasi;
”Alat” untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima.
Dalam memilih saluran komunikasi, sumber, paling tidak perlu memperhatikan:
a.       Tujuan diadakannya komunikasi dan
b.      Karakteristik penerima.
Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa.
Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal.
3.      Jangka waktu;
Proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu.
Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam:
a.       Proses pengambilan keputusan inovasi,
b.      Keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi, dan
c.       Kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
4.      Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama.   
Lebih lanjut teori yang dikemukakan Rogers (1995) memiliki relevansi dan argumen yang cukup signifikan dalam proses pengambilan keputusan inovasi. Teori tersebut antara lain menggambarkan tentang variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi.
Menurut Ardianto dkk (2009), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup:
1.      Atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion),
a.       Keuntungan relative (relative advantage),
adalah inovasi dapat diterima oleh masyarakat apabila menguntungkan secara ekonomis atau dapat meningkatkan prestise/status social serta kenyamanan dan kepuasan, juga merupakan unsur yang penting.
b.      Kesesuaian (compatibility),
adalah suatu inovasi dirasakan ajeg atau konsisten dengan nilai – nilai yang berlaku, pengalaman yang telah dimiliki, kesesuaian dengan tradisi dan kebutuhan mereka yang melakukan adopsi.
c.       Kerumitan (complexity),
adalah mutu derajat dimana inovasi dirasakan sukar untuk dimengerti dan dipergunakan. Selanjutnya Mulyana S (2009) mengatakan bahwa kerumitan dari inovasi, apabila dilaksanakan oleh sasaran.Kompleksitas inovasi yang diterima oleh anggota dalam sistem sosial sangat berpengaruh.
d.      Kemungkinan di coba (trialability),
adalah mutu derajat dimana inovasi di eksperimentasikan pada landasan yang terbatas.Mulyana S. (2009) mengatakan bahwa, dapat diujicobakan, setiap inovasi yang dibawa dapat diujicobakan dulu oleh sasaran sehingga dapat dilanjutkan/tidak, tergantung dari persepsi sasaran terhadap inovasi tersebut.
e.       Kemungkinan diamati (observability),
adalah hasil inovasi dapat disaksikan oleh orang lain atau dapat dilihat/tampak, dapat dikomunikasikan dan dapat dideskripsikan.
2.      Jenis keputusan inovasi (type of innovation decisions),
a.  Keputusan individual:
1)  Keputusan optional melalui proses:
2)  Keputusan Kolektif
b.  Keputusan Otoritas:
     Dimana suatu keputusan diambil dengan paksaan, atas dasar kepentingan atau mendesaknya suatu inovasi untuk diadopsi atau digunakan atau karena urgensi dari suatu inovasi tersebut harus digunakan dalam suatu sistem sosial. Karena apabila inovasi itu tidak segera dikhawatirkan terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Disini dalam pengambilan keputusan tidak harus melalui tahapan-tahapan pengambilan keputusan.
3.      Saluran komunikasi (communication channel),
a.   Sumber,
b.  Media/khalayak
c.  Objek/interpersonal
4.      Kondisi sistem sosial (nature of social system),
Hal yang harus diperhatikan:
a.  Norma masyarakat,
b.  Toleransi terhadap penyimpangan
c.  Pola komunikasi.
5.      Peran agen perubah (change agents). 
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan agen: gencarnya promosi yang berorientasi pada klien, kerjasama dengan tokoh masyarakat, kredibilitas agen di mata klien.
3  TAHAPAN PERISTIWA YANG MENCIPTAKAN PROSES DIFUSI
1.      Mempelajari inovasi:
Tahapan ini merupakan awal ketika masyarakat mulai melihat dan mengamati inovasi baru dari berbagai sumber, khususnya media massa. Pengadopsian awal biasanya merupakan orang-orang yang rajin membaca koran dan menonton televisi, sehingga mereka bisa menangkap inovasi baru yang ada. Jika sebuah inovasi dianggap sulit dimengerti dan sulit diaplikasikan, maka hal itu tidak akan diadopsi dengan cepat oleh mereka, lain halnya jika yang dianggapnya baru merupakan hal mudah, maka mereka akan lebih cepat mengadopsinya. Beberapa jenis inovasi bahkan harus disosialisasikan melalui komunikasi inerpersonal dan kedekatan secara fisik.
2.      Pengadopsian:
Dalam tahap ini masyarakat mulai menggunakan inovasi yang mereka pelajari. Diadopsi atau tidaknya sebuah inovasi oleh masyarakat ditentukan juga oleh beberapa faktor. Riset membuktikan bahwa semakin besar keuntungan yang didapat, semakin tinggi dorongan untuk mengadopsi perilaku tertentu. Adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh keyakinan terhadap kemampuan seseorang. Sebelum seseorang memutuskan untuk mencoba hal baru, orang tersebut biasanya bertanya pada diri sendiri, apakah mereka mampu melakukannya? Maka mereka akan cenderung mengadopsi inovasi tersebut. Selain itiu, dorongan status juga menjadi faktor motivasional yang kuat dalam mengadopsi inovasi.
Beberapa orang ingin selalu menjadi pusat perhatian dalam mengadopsi inovasi untuk menunjukkan status sosialnya di hadapan orang lain. Adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh nilai yang dimiliki individu tersebut serta persepri dirinya. Jika sebuah inovasi dianggapnya menyimpang atau ridak sesuai dengan nilai yang ia anut, maka ia tidak akan mengadopsinya. Semakin besar pengorbanan yang dikeluarkan  untuk mengadopsi sebuah inovasi, semakin kecil tingkat adopsinya.
3.      Pengembangan jaringan sosial:
Seseorang yang telah mengadopsi sebuah inovasi akan menyebarkan inovasi tersebut kepada jaringan sosial di sekitarnya, sehingga sebuah inovasi bisa secara luas diadopsi oleh masyarakat. Divusi sebuah inovasi tidak lepas dari proses penyampaian dari satu individu lain melalui hubungan sosial yang mereka miliki. Riset menunjukkan bahwa sebuah kelompok yang solid dan dekat satu sama lain mengadopsi inovasi melalui kelompoknya. Dalam proses asopsi inovasi, komunikasi melalui saluran media massa lebih cepat menyadarkan masyarakat mengenai penyebaran inovasi baru dibanding saluran komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal mempengaruhi manusia untuk mengadopsi inovasi yang sebelumnya telah diperkenalkan oleh media massa.
4  TAHAPAN DARI PROSES ADOPSI  INOVASI
Rogers.E.M dan Shoemaker G.F.,dalam Mulyana S. (2009) mengemukakan bahwa ada 4 (empat) tahap, proses adopsi inovasi yaitu:
1.      Tahap munculnya pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami eksistensi dan keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi. Pada tahap ini, seseorang belum memiliki informasi mengenai inovasi baru. Untuk itu informasi mengenai inovasi tersebut harus disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada.
2.      Tahap persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik
3.      Tahap pengambilan keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada pemilihan adopsi atau penolakan inovasi.
4.      Tahapan implementasi (Implementation), ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi sambil mempelajari tentang inovasi tersebut.
5.      Tahapan konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya.
5  TAHAPAN ADOPTER
Anggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adopter (penerima inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan dalam menerima inovasi).Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujukan adalah pengelompokkan berdasarkan kurva adopsi, yang telah duji oleh Rogers (1961).  
Gambaran tentang pengelompokan adopter dapat dilihat sebagai berikut:
1.      Innovators: Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya: petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi.
2.      Early Adopters (Perintis/Pelopor): 13,5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di dalam tinggi.
3.      Early Majority (Pengikut Dini): 34% yang menjadi pera pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi.
4.      Late Majority (Pengikut Akhir): 34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan social, terlalu hati-hati.
5.      Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional): 16% terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders,sumberdaya terbatas.
6  PENERAPAN DAN KETERKAITAN TEORI
Pada awalnya, bahkan dalam beberapa perkembangan berikutnya,  teori Difusi Inovasi senantiasa dikaitkan dengan proses pembangunan masyarakat. Inovasi merupakan awal untuk terjadinya perubahan sosial, dan perubahan sosial pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat.
Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Mulyana S (2009) menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses dimana perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial.
Perubahan sosial terjadi dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu:
1.        Penemuan (invention),
Penemuan adalah proses dimana ide/gagasan baru diciptakan atau dikembangkan.
2.        Difusi (diffusion),
Difusi adalah proses dimana ide/gagasan baru  dikomunikasikan kepada anggota sistem sosial,
3.        Konsekuensi (consequences),
Konsekuensi adalah suatu perubahan dalam sistem sosial sebagai hasil dari adopsi atau penolakan inovasi.
ROGER  menawarkan alternative mekanisme Difusi Inovasi dalam Lembaga Pemerintahan, yaitu ;
1.      Agenda Setting
Pada tahap ini dilakukan identifikasi kebutuhan lembaga. dengan Identifikasi dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan “ Apakah Inovasi yang bersangkutan dibutuhkan lembaga.
2.       Maching
Pada tahap ini terjadi proses mencocokkan, melakukan redesign organisasi untuk menyesuaikan dengan inovasi. Organisasi dapat memutuskan bahwa inovasi yang akan di difusi mach atau mismatch. Apabila menurut penilaian terjadi mismatch maka inovasi dapat ditolak. Keputusan ini penting karena akan menentukan langkah selanjutnya.
3.      Restrukturing / Redefining
Ketika tahap 2 di putuskan bahwa inovaso mach dengan organisasi maka harus mulai melakukan modifikasi terhadap inovasi tersebut sehingga inovasi mulai mengurangi karakter bawaannya dan mulai menyatu dengan karakter organisasi. Dalam tahap ini inovasi di reinvented  sehingga menjadi inovasi yang memiliki karakter organisasi.Dengan demikian juga secara otomatis terjadi stukturisasi lembaga sebagai dampak dari implementasi inovasi.
4.      Clarifying
Pada tahap ini inovasi diimplementasikan secara luas sehingga ide-ide yang di bawa oleh innovator lambat laun menjadi kebiasaan bagi setiap anggota organisasi.
5.       Routinizing
Pada tahap ini inovasi telah menjadi ide-ide dan telah menjadi kegiatan rutinitas yang menyatu dengan kegiatan organisasi. Ide-ide inovasi telah melebur dengan organisasi menjadi pengetahuan, cara berfikir dan cara bertindak.
7  KASUS-KASUS APLIKASI TEORI DIFUSI INOVASI
PENGEMBANGAN BUKU INFO REMAJA DAN BUKU KESEHATAN REMAJA DI KABUPATEN BONDOWOSO JAWA TIMUR
( Sumber : Dinas Kesehatan Kab.Bondowoso , Dinas Kesehatan Prop.Jawa Timur, 2011 )
Buku info Kesehatan Remaja dan Buku Kesehatan Remaja di kembangkan sebagai tujuan memberikan pengetahuan, informasi serta meningkatkan kualitas kesehatan remaja. Buku ini berisi tentang Promosi Kesehatan khususnya tentang informasi tumbuh kembang remaja, reproduksi sehat remaja, Gizi Remaja, Catatan Riwayat kesehatan remaja, Skrening kesehatan pada Remaja serta catatan kesehatan remaja. Buku ini di ibaratkan sebagai diare/ catatan pribadi remaja.
 Buku Info Kesehatan Remaja dan Buku Kesehatan Remaja , dikembangkan pada tahun 2008, dan mulai di sosialisasikan pada tahun 2009. Dimana uji coba di laksanakan di tiga ( 3 ) Kabupaten yaitu Bondowoso, Tulung Agung, Probolinggo  ( 3 Kabupaten Binaan UNICEF ) .Sasaran pengggunaan buku ini adalah semua anak dan Remaja baik di tingkat pendidikan Formal ( SMP, SMA, SMK,MTs, MA ), Pendidikan non formal ( Pondok pesantren, Kelompok Remaja masjid, remaja gereja dll ) serta disosialisasikan ke anak jalanan. Penggunaan buku ini serentak di gunakan di Jawa Timur sejak tahun 2010 ,khususnya di Kabupaten Bondowoso.
Pengembangan inovasi Penggunaan Buku Info Kesehatan Remaja dan Buku Kesehatan Remaja ( Buku KEREM ) banyak tantangan dan kendala yang di hadapi, sejak mulai di kembangkan sampai saat ini masih juga banyak kendala terutama pada pengguna buku remaja di Pendidikan Non Formal ( Pondok Pesantren ). Dimana buku Kesehatan Remaja maupun Buku Info di anggap tabu karena memberikan informasi tentang tumbuh kembang serta pendidikan seks pada remaja.
Adapun Aplikasi buku Kesehatan Remaja ini di hubungkan dengan Teori Difusi dan Inovasi yaitu :
1.      ANTECEDENT
Ciri Penerima :
·         Remaja di kabupaten Bondowoso berkultur religious keagamaan di dalam kehidupan sehari-hari terutama di daerah pedesaan banyak mengikuti pembelajaran di Pondok pesanten. Sedangkan ada remaja baik di desa maupun kota juga pembelajaran di Pendidikan formal.
·         Banyaknya usia pernikahan dini di kalangan remaja di sebabkan karena factor budaya serta pengetahuan yang kurang dari para orang tua serta remaja sendiri terhadap Reproduksi sehat. Data usia perinikahan dini ( menikah kurang dari 20 tahun ) .
·         Remaja di kabupaten Bondowoso khususnya sebagian besar berkeinginan memperoleh informasi kesehatan, khususnya tentang kesehatan remaja.
Ciri Sistem Sosial :
·         Remaja di kabupaten latar budaya adalah suku Madura hampir 80 %  sedangkan 20 % suku jawa,etnis arab dan Tionghoa.  ( Sumber : BPS Kab Bondowoso 2010 ).
·         Masyarakat Bondowoso sebagian besar masih masyarakat tradisional dan sub modern dimana rasa kebersamaan serta penganut tokoh agama sangat kuat.
2.       PROSES
·         Pengetahuan : tentang Kesehatan Reproduksi remaja dengan pengembangan Buku Info Remaja dan Buku Kesehatan Remaja. Disosialisasikan pada kalangan remaja di kabupaten Bondowoso sejak tahun 2009 dan serentak di laksanakan pengunaanya tahun 2010.
·         Persuasi :
1.      Pendekatan melalui Pendidik Sebaya (PE ) remaja  yang di kembangkan tahun 2007 di kabupaten Bondowoso bersama Petugas Penanggung jawab Pelayanan Kesehatan Remaja di Puskesmas .
2.      Bidang Kesga ( Dinkes ) melakukan  pendekatan serta advokasi  dan kerja sama dengan lintas sector ( DIKNAS, KBPP, BAPEMAS, BAPPEDA,DEPAG , DINSOS ) .
3.      Pendekatan pada remaja langsung di Pendidikan Formal maupun non formal ( pondok pesanten ) melalui Kelompok Saresahan Remaja serta Siaran Radio interaktif tentang Kesehatan Reproduksi Remaja.
·         Keputusan :
1.      Adopsi : setelah adanya sosialisasi serta pendekatan remaja yang dilakukan  PE ( peer educator ) serta petugas kesehatan , di kalangan remaja khususnya dipendidikan Formal dan sebagian remaja di pendidikan non formal, Remaja  mau menggunakan buku info dan buku kesehatan remaja sebagai sumber informasi tentang kesehatan remaja. Serta terus memanfaatkan buku tersebut. Adapun sebagian kecil remaja di tingkat pendidikan non formal maupun formal tidak terus menggunakan dengan alasan malas atau buku tidak gratis. Tetapi tahun 2010 pengadaan buku tersebut dianggarkan melalui APBD II maupun APBD I, sehingga remaja gratis memperoleh buku tersebut.
2.      Menolak : Keputusan menolak di dasarkan karena merasa tabu dan terlalu vulgar terhadap keterangan informasi. Khusunya di tingkat pendidikan non formal (PONPES). Dengan berjalannya waktu sudah banyak PONPES mau menggunakan buku tersebut tetapi ada juga yang tetap menganggap tabu dan tidak boleh di gunakan.
·         Implementasi      : Para remaja khususnya di tingkat pendidikan formal serta sebagian kecil remaja di ponpes mau mempelajari serta menggunaka buku tersebut.
·         Konfirmasi     :    Para remaja sudah mulai mencari infomasi tentang buku kesehatan remaja serta mulai tersa manfaatnya
·         Konsekuensi :    Di kabupaten Bondowoso terus di adopsi ( terus di gunakan ) penggunaan buku Info Remaja serta Buku Kesehatan Remaja sebagai sarana memperoleh Informasi Kesehatan pada remaja.



1  Kesimpulan
Pengembangan inovasi Penggunaan Buku Info Kesehatan Remaja dan Buku Kesehatan Remaja ( Buku KEREM ) banyak tantangan dan kendala yang di hadapi, sejak mulai di kembangkan sampai saat ini masih juga banyak kendala terutama pada pengguna buku remaja di Pendidikan Non Formal ( Pondok Pesantren ). Dimana buku Kesehatan Remaja maupun Buku Info di anggap tabu karena memberikan informasi tentang tumbuh kembang serta pendidikan seks pada remaja
Banyaknya usia pernikahan dini di kalangan remaja di sebabkan karena factor budaya serta pengetahuan yang kurang dari para orang tua serta remaja sendiri terhadap Reproduksi sehat. Data usia perinikahan dini ( menikah kurang dari 20 tahun ). 
 
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, B. 2007. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Kencana. Jakarta
Dilla, S. 2007. Komunikasi Pembangunan: Pendekatan Terpadu. Simbiosa. Bandung.
Dinas Kesehatan Prop.Jatim ,Buku Kesehatan Remaja, 2008.Dinkes Jatim
Dinas Kesehatan Prop.Jatim ,Buku Info Kesehatan Remaja, 2008.Dinkes Jatim
Levis, L. R. 1996. Komunikasi Penyuluhan Pedesaan. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Nasution, Z. 2004. Komunikasi Pembangunan. Pengenalan Teori dan Penerapannya. Rajawali Pers. Jakarta.
Nurudin. 2005. Sistem Komunikasi Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta.
Roger, Evertt M, (1964) Diffusion of innovations.Glenceo : Free Press. New York.
Rogers, Everett M. dan F. Floyd Shoemaker. Communication of Innovations. Terjemahan Abdillah Hanafi Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Usaha Nasional. Surabaya.
Rogers, E. M. 2003, Diffusion of Innovations: Fifth Edition. Free Press. New York
http://achmad 42.wordpress.com/2009/10/22 teori difusi inovasi
http://www.scipd.com/doc/56138197/teori-difusi-inovasi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar